Langsung ke konten utama

Dalam Kenangan Mbah Maemoen Zubair

Sumber foto : Facebook A. Dawam Afandi

DALAM KENANGAN.

Entah kenapa hatiku tergerak untuk menulis catatan kecil ini, mungkin karena tahun ini adalah pertama kali Bulan Sya'ban tanpa Beliau...

Iya, tepatnya tgl 22 Sya'ban 1429 H.
11 tahun yg lalu, beliau telah memegang erat tangan kananku untuk meng-ijab-kan pernikahanku sambil membisikkan nasehat ;

"Mengko nek pas arep muni qobiltu, neng atine krentek niat nikah namung kerono ittiba' Kanjeng Nabi,ora kerono liyane,InsyaAllah diparingi kepenak uripe".

Begitulah nasehat beliau kepada setiap 
santri yg akan melangsungkan aqad nikah.

Saat itu saya hampir deg-degan bercampur was-was yg bukan main, karena acara pernikahanku bersamaan dg pernikahan putrinya H. ALI MUFIZ Wakil Gubernur Jawa Tengah waktu itu.

Bapak Wagub yg sangat ingin Mbah Moen memberi restu untuk putrinya yg melangsungkan pernikahan di Semarang, harus naik halikopter pribadi menuju sarang memohon kerawuhan beliau.

Namun Mbah Moen tak kurang cara (dan ini yg membuatku terharu),
Mbah Moen meminta pihak keluarga calon istriku untuk memajukan aqad pernikahan lebih pagi dari jadwal yg direncanakan,yang semula pukul 09.00 menjadi pukul 06.00.

Alhamdulillah berhasil...

Dan untuk mengejar waktu,beliau mengajak saya beserta beberapa pengiring pengantin dari sarang(karena saat itu ada dua pengantin dari sarang, saya dan kang Abdul Ghofur Blora), untuk menginap di hotel Kencana Rembang pada malam sebelum acara(kebetulan saya satu kamar dg Kyai Muhammad Alim yg ikut mengiring saya).

Hal itu Beliau lakukan agar paginya tepat setelah sholat Shubuh bisa langsung menuju tempat istri saya di desa Malangan Pucakwangi Pati yg lumayan "plosok".

Alhamdulillah, sesuai rencana...

Setelah dari tempat saya Beliau langsung meluncur menuju tempatnya kang Abdul Ghofur yg kebetulan rumahnya dikecamatan sebelah, meskipun agak jauh dan waktu untuk menuju Semarang sudah sangat mepet sekali.
Karena beliau tidak ingin mengecewakan santrinya. 

Singkat cerita, begitulah sosok Mbah Moen yg sangat sayang pada semua santrinya, tidak pandang pilih.

Meskipun saya santri yg bukan siapa - siapa, bukan tergolong  keturunan yg mendapat legitimasi Al Qur'an :
ذرية بعضها من بعض
Demikian pula kang Abdul Ghofur yg menjadi abdi ndalem.

Sekali lagi, bukan karena diriku santri yg istimewa, namun karena memang sifat beliau yg tidak ingin mengecewakan kita para santri dari kasta apapun. 

Bahkan,pernah suatu malam saya ngobrol dg teman setelah wafatnya beliau, tentang santri yg paling disayangi beliau.

Subhanaallah, beliau langsung menegur kepada saya lewat mimpi ;
"Kabeh santriku tak sayangi,oro ono seng paling tak sayangi,kabeh podho, aku ora beda-bedakno" dawuh beliau yg masih terngiang ditelinga. 

Dan di setiap bulan Sya'ban seperti ini, disamping Mbah Wali (Ust. Wahyudi) saya selalu mendapat tugas dari beliau untuk memberi ta'liq/catatan lafadz-lafadz yg ghorib pada kitab-kitab yg akan dibaca waktu Romadlon, agar beliau tidak repot membuka kamus saat membaca.

Anehnya,pada Bulan Romadhon tahun kemarin beliau membaca kitab :
تنبيه المغترين
seakan memberi isyarat kepada kita para santri, khususnya saya pribadi yg selama ini tertipu dan terlena.

Santri yg tidak bisa memanfaatkan kealiman, kearifan dan segala keistimewaan lain pada diri beliau.

Saya yg diberi kesempatan berkhidmah untuk beliau selama dua tahun menjadi ketua pondok, yg mengharuskan saya untuk tidak pulang selama beliau di ndalem.

Sehingga saya berkesempatan mengikuti Sholat idul fitri bersama beliau selama dua kali. 
Dan waktu lebaran tahun 2006, karena tidak pulang, saya mendapat tugas membuat risalah yg membantah keputusan Ketua PWNU Jawa Timur saat itu yg berbeda dg pemerintah dalam hari raya. 

Iya, kitab تنبيه المغترين  yg merupakan kitab terakhir dibaca beliau saat Romadhon, ternyata memberi signal untuk mengingatkan kepada santri yg terlena seperti diriku ini.

Sama seperti surat At-Taghobun yg berada pada urutan surat ke 64,menurut sebagian ulama sebagai isyarat bahwa setelah Nabi berumur 63 maka umat akan mengalami "taghobun"(kerugian/kesusahan, dll) . 
Dan tentunya isyarat-isyarat lain sebagai signal akan wafatnya Nabi.

Akhiron... 
Semoga masih berkesempatan bertemu Beliau dalam mimpi - mimpi indah kita... 
Terlebih bisa bertemu di akhirot nanti. 
Amiin...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah KH. Mohammad Hasan Sepuh Genggong (1840 – 1955)

KH. Mohammad Hasan Sepuh Genggong (1840 – 1955) Abdur Rahim July 30, 2018 Kyaiku Leave a comment 2,551 Views KH. Mohammad Hasan atau yang akrab dikenal dengan sebutan Kiai Hasan Sepuh sebagaimana masyarakan mengenal beliau sebagai kiai sepuh yang sangat ‘alim dan kharismatik yang hidup dan berjuang di Genggong Probolinggo Jawa Timur. Kelak, di daerah ini terdapat sebuah pesantren besar yang bernama Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama mertua beliau KH. Zainul Abidin dan nama beliau yaitu KH. Muhammad Hasan. Kiai Hasan sebenarnya memiliki nama kecil Ahsan, lengkapnya Ahsan bin Syamsuddin yang lahir pada 27 Rajab 1259 atau diperkirakan dengan 23 Agustus 1840. Dilahirkan di Desa Sentong yang terletak sekitar 4 km ke arah selatan Kraksan Probolinggo. Mulanya, Desa Sentong ini termasuk wilayah Kawedanan Kraksaan dan sekarang sudah masuk sebagai wilayah Kecamatan Krejengan. Ayah Kiai Hasan bernama Syamsuddin atau juga dikenal dengan nama...

Biografi Singkat Abah Guru Sekumpul

ABAH GURU SEKUMPUL Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd. Ghani bin Al ‘arif Billah Abd. Ghani bin H. Abd. Manaf bin Muh. Seman bin H. M, Sa’ad bin H. Abdullah bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. M. Khalid bin ‘Alimul ‘allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad; dilahirkan pada, malam Rabu 27 Muharram, 1361 H (I I Februari 1942 M). Nama kecilnya adalah Qusyairi, sejak kecil beliau termasuk dari salah seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT. Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat sifat dan pembawaan yang lain daripada yang lainnya, diantaranya adalah bahwa beliau tidak pernah ihtilam. ‘Alimul ‘allamah Al Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd Ghani sejak kecil selalu berada disamping kedua orang tua dan nenek beliau yang benama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga dimasa k...