Langsung ke konten utama

Meneladani Al Marhum Al Maghfurlah KH. Chasbulloh Badawi


Meneladani Al Marhum Al Maghfurlah KH. Chasbulloh Badawi
Bin KH. Ahmad Badawi Hanafi Kesugihan
(1000 hari beliau ditimbali kondur dening Allah Swt.)
Mengutip Hadis Nabi yang ditulis Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, Juz 1, halaman 49.
لا تجلسوا عند كل عالم إلا إلى عالم يدعوكم من خمس إلى خمس: من الشك إلى اليقين، ومن الرياء إلى الإخلاص، ومن الرغبة إلى الزهد، ومن الكبر إلى التواضع، ومن العداوة إلى النصيحة  رواه ابن عساكر)
“Janganlah duduk (belajar) pada setiap orang ‘alim, tapi belajarlah pada orang ‘alim yang mengajakmu dari lima hal ke lima hal: dari ragu ke yaqin, dari ria ke ikhlas, dari cinta dunia ke zuhud, dari sombong ke rendah hati, dan dari permusuhan ke perdamaian.”

Kelima hal tersebut ada pada diri Al Marhum Al Maghfurlah KH. Chasbulloh Badawi:
1. Dari ragu ke yaqin
KH. Chasbulloh Badawi selalu mengajarkan bahwa sebagai seorang mukmin, keyakinan terhadap Allah Swt adalah yang paling utama. Karena Dia-lah sumber kebenaran, Dia lah Tuhan semesta alam, Dia lah yang mencipta dan mencukupi kebutuhan seluruh makhluk. Tidaklah bisa disebut benar manakala bertentangan dari tuntunan hidup yang telah Dia berikan. Ketika Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
KH. Chasbulloh Badawi mencontohkan makna ayat tersebut dalam kehidupan nyata:
a. Di tahun 2005, setelah shalat Ashar saya dan Kang Teguh ditimbali untuk menghadap beliau, Beliau ngendika: “Kowe sanggup perminggune golet duit minimal karo tengah juta?”. Saya jawab: njeh sanggup, Insya Allah (Tanpa sedikitpun keraguan dalam hati, walaupun carinya dimana belum terbayangkan, he). Beliau ngendika: “Nek kowe sanggup ngesuk komplek G dibongkar”. Saya jawab: “Nggeh”, kemudian pamit. Dan benar, besok pagi gedung dibongkar dengan dana persiapan 0 rupiah.
Alhamdulillah, dalam realisasinya, setiap hari sabtu selama hampir satu tahun, dapat mengumpukan uang Rp. 1.500.000 bahkan lebih untuk mencukupi pembayaran tukang, dari sedekah jariyah warga, sampai Komplek G bisa ditempati dengan cukup layak. Tentu dengan kerjasama antara pengurus komplek G waktu itu dan segenap santri yang menempat di komplek G.
b. Tahun 2007, saya didawuih untuk mencari penulis kitab Tafsir yang di muqoddimaih oleh almarhum almaghfurlah KH. Ahmad Mustholih Badawi. Mengingat banyak surat pembaca yang mengomentari karya tersebut. Singkat cerita saya dibekali nama dan alamat. Alamatnya disebutkan di Pulogadung. Berbekal uang yang hanya cukup untuk tiket berangkat, saya naik bis menuju pulogadung. Sampai di pulogadung, dalam hati sempat bingung (waduh pulo gadung itu luas sekali ya, disebelah mana kira2). Akhirnya jalan menyusuri gang-gang sampai kurang lebih 3 jam. Setiap nanya ke orang tentang orang yang saya cari, jawabanyya: "Bang, pulo gadung itu luas, kalau mau nyari orang, alamatnya yang jelas, nyari orang alamatnya cuma pulo gadung gimana mau ketemu." Hemmm (dalam hati: Saya didawuih Kyai, untuk kebaikan, pasti Pak Kyai medoakan dan Allah pasti akan menunjukkan). Setelah beberapa kali nanya ga ada titik terang, akhirnya berjalan lagi sampai kaki benar-benar cape, kemudian istirahat, dan disaat istirahat dipinggir gang itulah, melihat ada tulisan nama orang yang dicarai tertulis di atas pintu rumah seseorang. Setelah salam dan dipersilahkan masuk, ternyata benar bahwa dia adalah orang yang saya cari. Alhamdulillah. Setelah tujuan disampaikan, kemudian pamit pulang (sampai lupa kalau sudah tidak memiliki uang sepeserpun) di kantong. Manakala hendak menuju keluar, tuan rumah memanggil saya dengan memegang amplop dan bilang: "Ini untuk naik taksi". Kemudian saya berbegas keluar, saya buka, di dalam amplop itu berisi nominal yang cukup untuk bolak balik ke Jakarta (PP) 10 kali naik kereta ekonomi. Alhamdulillah... (sama sekali tak terduga).
c. Pernah juga ditahun yang sama, saya didawuih beliau jawa timur. Sempat bingung karena berangkat besok pagi tapi sore ini belum ada uang untuk beli tiket. Didawuih Kyai, uang pas ga cukup beli tiket kereta, nembung ke teman belum juga dapat (maklum di pondok sering mengamalkan ilmu bab dainun,he). Hari semakin sore, belum juga dapat uang untuk beli tiket kereta. Astahfirulloh, piwe kiye yah. Ketika sedang termenung, memikirkan bagaimana beli tiket, sambil duduk di teras aula jadid, tidak diduga ada Bapak-bapak datang dari maos dan menyalami semua santri yang duduk di teras, semua disalami dan terakhir salaman dengan saya. Saya tanya maksud kedatangannya, ia menjawab: "ngeten mas, sederek kulo nilar dunyo, tapi wasiyat ken sodaqoh teng santri, nopo sampean purun nampi?", Saya terdiam sebentar (ada perasaan tidak percaya), kemudian saya jawab: "Nggeh Puruuuun". Ternyata diberi amplop berisi uang beneran dan langsung pergi ke stasiun maos beli tiket kereta. Alhamdulilah bisa memenuhi dawuh beliau. Dawuh Kyai didalamnya termuat doa agar dawuh itu bisa terlaksana
d. Tahun 2013, Ketika Mbah (dari Bapak mertua) meninggal, KH. Chasbulloh Badawi berkenan rawuh ta’ziyah, dan saya (alhamdulillah) menjemput beliau. Di tengah perjalanan, beliau ngendika: “wis ngedekna MTs purung”, Saya jawab: “belum”, Beliau ngendika: “Ndang degna, insya Allah manfaat”. Seminggu berselang, saya sampaikan pengendikan beliau kepada al-Walid, KH. Ahmad Sobirin dan langsung setuju, karena hal serupa juga disampaikan langsung kepadanya. Seminggu kemudian mengumpulkan tokoh pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk musyawarah pendirian MTs tersebut dan semua setuju dan menyepakati pendirian MTs.
Sempat banyak yang meragukan kesiapan pendirian MTs tersebut, ada yang bertanya: “Apa engko ana muride?”, spontan saya jawab: ada, 15 (saya tidak tahu darimana munculnya angka 15 itu).
Setelah MTs berdiri, hari pertama (senin) ternyata yang mendaftar dan masuk baru 5 anak; Sampai ada yang bertanya: gweh kan, kur 5. Saya jawab: 15, yang lain akan menyusul.
Alhamdulillah, sampai hari sabtu,  jumlah siswa genap berjumlah 15. Di kelas satu ada yang keluar satu, masuk satu lagi, kelas dua ada yang keluar satu, masuk satu lagi, dan kelas tiga ada yang keluar satu, masuk satu lagi. Sehinggal jumlah siswa tetap berjumlah 15 dari dari awal sampai lulus.
Ternyata angka 15 itu ada maknanya, dindik mau memproses disposisi rekomendasi Bupati terkait pendirian MTs, syaratnya jumlah minimal siswanya adalah 15.
Ya Allah, tentu ini bukanlah kebetulan, namun tidak lepas dari doa dan dukungan al-maghfurlah.
Beliau mendidik santri agar keyakinan tidak hanya dibangun pada apa yang terlihat, namun harus pada Dzat yang tidak terbatas, yang tidak bisa dilihat dengan indra.
2. Dari riya ke ikhlas
a. Dalam setiap selesai pekerjaan yang dilakukan, beliau selalu mengakhiri dengan kata “Alhamdulillah, aku ditulungi nang Gusti Allah”. Ketika selesai membangun perpustakaan Darul Hikmah, beliau katakan itu, ketika selesai membangun komplek G, beliau katakan itu, ketika selesai membangun komplek RQ, beliau katakan itu. Tentunya tidak hanya dalam hal membangun fisik, namun juga setiap aktifitas ibadah yang dilakukan, baik itu mahdhah maupun ghairu mahdhah. Kalimat “Alhamdulillah, aku ditulungi nang Gusti Allah”  terlihat sederhana namun itu dalam maknanya. Bahwa segala sesuatu yang dilakukan itu sema-mata ikhlas karena Allah, bukan untuk dipuji oleh sesama manusia.
b. Setiap santri yang sowan hendak mukim/melanjutkan ngaji di tempat lain, al-maghfurlah  KH. Chasbulloh Badawi selalu menyampaikan: “Nggih mugi-mugi manfaat”. Selama menemani wali santri yang sowan untuk memamitkan anaknya yang mau mukim, belum pernah beliau mengatakan: “aja disit, setahun maning”, beliau ngendiko: “Nggih mugi-mugi manfaat”. Kecuali jika wali minta pendapat, misal menyampaikan: “Niki anak kulo sampun lulus Aliyah/sampung lulus SMA, saene pipun?”. Beliau baru memberi saran: “Kuliah nang IAIIG”, dulu, kalai sekarang mestinya IAIIG dan UNUGHA.
Pernyataan “Nggeh, mugi-mugi manfaat” ini menunjukkan keikhlasan yang luar biasa. Santri yang mau mukim  tidak diminta bayar sekian, tidak diminta urun sekian kalau sudah bekerja, dll. Namun yang diminta adalah menjadi pribadi yang bermanfaat. Ini sesuai sabda Nabi yang artinya: “orang terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesamanya”. Bermanfaat ini tentu penjabaran dan beramal solih, karena orang yang solih adalah orang yang beriman dan beramal solih.
Pernah suatu ketika ada santri yang sowan, ditanya oleh Beliau: seniki teng pundi? Di tempat ini (jawab si santri), beliau ngendika: loh ko pindah malih?, Nggeh Yai (jawab santri); Beliau ngendika: “Kabeh kuwe bumine gusti Allah, nangdi manfaat, ya wis manggon kono”. Kurang lebih itu ya dingendikakan beliau. Tentu kalau tidak didasari hati yng ikhlas, sulit untuk menyampaikan demikian. Ini menunjukkan betapa Kyai mengajari santrinya bertahun-tahun, yang dharapkan bukan materi dan pujian, namun harapannya adalah agar santri tersebut menjadi orang yang didambakan Allah dan Rasul-Nya, beriman dan beramal solih, bermanfaat bagi umat manusia.
3. Dari cinta dunia ke zuhud
Secara logika, dengan jumlah santri yang banyak dan ketua yayasan yang menaungi lebih dari 50 lembaga pendidikan, untuk menjadi kaya secara materi tentu bukan hal yang sulit. Apalagi beliau orang besar yang dikenal banyak orang. Tapi lagi-lagi, orientasi beliau bukanlah materi dunia, harta kekayaan duaniawi, bukan, tapi orientasi beliau adalah as-sa’adah fid-darain, dunia hanyalah alat untuk menggapai ridla dari Allah Swt. Banyak hal yang menunjukkan demikian, diantaranya:
a. Sebagai Ketua YaBAKII, beliau mengambil kebijakan “tidak boleh ada siswa/peserta didik dikeluarkan dari sekolah karena persoalan biaya”. Hal ini sampai sekarang masih dipedomani. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan yang digagas beliau bukanlah untuk kepentingan komersial, tapi ibadah. Secara filosofis hal itu dipahami bahwa penyelenggaran pendidikan tidak lain adalah sarana mengamalkan hadis Nabi: “Mencari ilmu wajib bagi setiap orang Islam”. Tentu mengamalkan hadis tidak boleh terhenti hanya karena persoalan biaya.
b. Tahun 2005, di PP. Al Ihya Ulumaddin, saat itu air sumur di sekitar pondok sangat kuning dan kurang baik untuk kesehatan, akhirnya oleh beliau, pengurus agar memindahkan sumber air ke sumur dekat kali serayu. Proses pemindahan itu yang butuh waktu agak lama, sekitar 5 bulan. Awalnya air dari sumur di dekat kali serayu ditarik dengan tenaga disel, namun disel rusak terus, akhirnya beli jetpam di semarang, akan tetapi jetpam tersebut belum bisa digunakan. Disaat diesel rusak (membutuhkan dana banyak untuk perbaikan) dan jetpam belum bisa digunakan, saya dan teman pengurus yang lain sowan ke beliau, mengusulkan agar uang syahriyah dinaikkan; Tapi beliau sama sekali tidak setuju, beliau ngendika: “Aja setitik-setitik ngunggahna Syahriyah, di hemat le nganggo duit, listrik di hemat, lampu se pondok ganti karo lampu sing putih kabeh ben hemat!”, “Nggeh” (jawab kami). Akhirnya, semua lampu yang berbentuk bohlam dan lampu neon diganti semua dengan lampu putih yang berbentuk seperti dua jari. Setelah dilakukan penghematan, alhamdulillah keuangan menjadi cukup stabil, namun masih kurang. Dari sinilah muncul ide kreatif untuk menulis buku “Agenda Santri” dan buku terjemah Al-Ajurrumiyyah yang diberi judul “Cara Mudah Belajar Ilmu Nahwu”. Waktu itu, hasil penjualan dari kedua buku tersebut, kelebihan dari  biaya cetak dimasukkan untuk menutup defisit keuangan pondok pesantren, terutama pembayaran listrik dan PDAM.
Ketika diwaktu diesel rusak dan air tidak mengalir ke pondok, santri putri banyak yang mandi numpang ke warga desa. Hal ini membuat beliau tidak nyaman, kemudian pengurus dipanggil: “banyune pondok putri ra bisa ditambah?”, spontan kami jawab: “saged”. Setelah jawab “saged” terus bingung, bagaimana nambahnya ya? He. (Rahasia waktu itu), saluran PDAM disalurkan ke pondok putri dan pondok putra. Waktu itu pengurus sempat dipuji santri karena airnya melimpah dan bening (mereka tidak tahu kalau itu air PDAM,he). Setelah JETPAM di serayu jadi dengan kerjasam dari PDAM (Pak Budi Gagak waktu itu), kami ke PDAM bermaksud membayar biaya air selama 3 bulan. Setelah dicek, bayarnya 9 juta, “astaghfirullah” . Namun alhamdulillah, dari 9 juta yang diminta membayar hanya 5 juta, dan sisanya dibebaskan. Dan alhamdulillah lagi, lunas dalam waktu 3 hari (waktu itu bendaharanya pak Mukhlisin).
Dua hal itu menunjukkan betapa yang dipikirkan beliau adalah para santri tercukupi kebutuhannya dan terlayani dengan baik.
4. Dari sombong ke rendah hati
Tentu tidak ada yang ragu terhadap torehan tinta emas beliau, bukti empirisma sangat banyak atas prestasi yang telah dicatatkan. Namun lagi-lagi beliau tidak pernah menjadikan itu semua untuk menyombongkan diri, justru beliau selalu menyampaikan perkembangan dan kemajuan yang ada diperoleh melalui semangat “suhbah” (persahabatan) dan selalu diikuti ucapan: “Alhamdulillah, aku ditulungi nang Gusti Allah”.
5. Dari permusuhan ke perdamaian
Al-Maghfurlah KH. Casbullah Badawi selalu menekankan pentingnya keguyuban dan kerukunan dan menjalani hidup dan kehidupan. Semua dirangkul, semua diajak untuk berjuang dalam agama Allah Swt. Semangay Suhbah/persahabatan senantiasa disampaikan oleh beliau dalam berbagai kesempatan. Tentu itu dilakukan agar semua elemen yang ada senantiasa guyub-rukun, tidak ada permusuhan.
Pernah suatu ketika, dalam sebuat rapat dewan Guru di ndalem beliau, ada salah seorang guru yang menyampaikan keprihatinan atas kondisi pondok pesantren saat ini yang menurutnya tidak bagus seperti kondisi pondok sebelumnya. Ketika diskusi agak “menghangat” , beliau ngendika: orang hidup itu seperti naik gunung, bagian bawah yang sudah dilalui terlihat indah, demikian juga bagian atas sana yang belum dilalui, terlihat sangat indah dengan pepohonan yang tertanam rapih. Namun saat melihat sekelilingnya, dia gundah, karena melihat pepohonan yang mati kekeringan dan semak belukar yang acak-acakan, serta pepohonan yang kurang terawat. Orang bernostalgia dengan kabar indah masa lalu dan memimpikan, membanggakkan keindahan di masa depan, namun saat ini semua terlihat serba kurang. Itulah lahan ibadah bagi kita, untuk memperbaiki yang nampak kurang baik, agar seperti/melebihi kebaikan masa lalu dan menjadi lebih baik seperti yang kita impikan di masa yang akan datang. Sontak, setelah beliu menyampaikan hal itu, semua terdiam, merenung, muhasabah, intropeksi dirinya masing-masing.
Poinya tentu tidak menjadi orang yang mengeluh dengan keadaan yang sekarang, namun berusaha agar kedepan akan menjadi lebih baik, tanpa selalu menyalahkan pihak-pihak di sekitarnya.
Ya Allah, al-maghfurlah KH. Chasbullah Badawi adalah termasuk orang ‘alim yang disabdakan Nabi” “Janganlah duduk (belajar) pada setiap orang ‘alim, tapi belajarlah pada orang ‘alim yang mengajakmu dari lima hal ke lima hal: dari ragu ke yaqin, dari ria ke ikhlas, dari cinta dunia ke zuhud, dari sombong ke rendah hati, dan dari permusuhan ke perdamaian.” (HR. Ibnu ‘Asakir).

Cerita ini hanyalah sedikit dari sekian banyak cerita yang belum ditulis tentang al-maghfurlah KH. Chasbullah Badawi. Saya yakin beliau Bahagia di alam sana, semoga bisa meneladani beliau, bisa mengikuti jejak beliau menggapai as-sa’adah fid-daroin (Bahagia dunia akherat. Terkhusus buat beliau, lahul fatihah …

Sumber Facebook: Misbahus Surur 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah KH. Mohammad Hasan Sepuh Genggong (1840 – 1955)

KH. Mohammad Hasan Sepuh Genggong (1840 – 1955) Abdur Rahim July 30, 2018 Kyaiku Leave a comment 2,551 Views KH. Mohammad Hasan atau yang akrab dikenal dengan sebutan Kiai Hasan Sepuh sebagaimana masyarakan mengenal beliau sebagai kiai sepuh yang sangat ‘alim dan kharismatik yang hidup dan berjuang di Genggong Probolinggo Jawa Timur. Kelak, di daerah ini terdapat sebuah pesantren besar yang bernama Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama mertua beliau KH. Zainul Abidin dan nama beliau yaitu KH. Muhammad Hasan. Kiai Hasan sebenarnya memiliki nama kecil Ahsan, lengkapnya Ahsan bin Syamsuddin yang lahir pada 27 Rajab 1259 atau diperkirakan dengan 23 Agustus 1840. Dilahirkan di Desa Sentong yang terletak sekitar 4 km ke arah selatan Kraksan Probolinggo. Mulanya, Desa Sentong ini termasuk wilayah Kawedanan Kraksaan dan sekarang sudah masuk sebagai wilayah Kecamatan Krejengan. Ayah Kiai Hasan bernama Syamsuddin atau juga dikenal dengan nama...

Biografi Singkat Abah Guru Sekumpul

ABAH GURU SEKUMPUL Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd. Ghani bin Al ‘arif Billah Abd. Ghani bin H. Abd. Manaf bin Muh. Seman bin H. M, Sa’ad bin H. Abdullah bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. M. Khalid bin ‘Alimul ‘allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad; dilahirkan pada, malam Rabu 27 Muharram, 1361 H (I I Februari 1942 M). Nama kecilnya adalah Qusyairi, sejak kecil beliau termasuk dari salah seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT. Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat sifat dan pembawaan yang lain daripada yang lainnya, diantaranya adalah bahwa beliau tidak pernah ihtilam. ‘Alimul ‘allamah Al Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd Ghani sejak kecil selalu berada disamping kedua orang tua dan nenek beliau yang benama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga dimasa k...